Mengenal Tokoh Musik Kontemporer Indonesia
Musik kontemporer adalah musik yang belum diciptakan
sebelumnya. Musik yang dibawakan sebenarnya mengajak orang-orang untuk tidak
terkungkung dengan satu kriteria musik yang laku di pasaran. Meski kehadiran
musik ini di beberapa tahun terakhir semakin tumbuh subur, tampaknya tetap
tidak akan bisa menyaingi musik konvensional karena dianggap berseberangan
dengan pola musik industri atau pop. Kondisi seperti ini sangat berbeda dengan luar negeri yang
justru memiliki daya jual begitu tinggi di beberapa negara maju. Sejumlah
musikus atau grup musik Indonesia yang berhaluan kontemporer sangat dikenal di
mancanegara, bahkan menjadi penampil langganan di festival-festival kontemporer
internasional.
Berikut kita hadirkan sejumlah tokoh musik kontemporer indonesia
yang menghadirkan musik-musik nyentrik jenis baru.
1. Slamet Abdul SjukurSlamet dikenal sebagai komponis Indonesia, disebut sebagai salah
seorang pionir musik kontemporer Indonesia. Ia juga piawai mengkomposisikan
bahan-bahan yang sederhana dan minim ke dalam sebuah musik, sehingga dirinya
disebut sebagai komposer minimaks.
Bunyi-bunyian sederhana: desir angin, gesekan daun, gemericik
air, bunyi gesekan sapu di jalanan, bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak
tangan, dan perbincangan orang-orang sekitar mampu digunakan Slamet untuk
mengeksplorasi musik dan menghasilkan komposisi yang luar biasa unik.
Slamet sudah lama belajar dan berpengalaman mengolah
keterbatasan sebagai sebuah tantangan kreativitas. Ia pernah membuat paduan
suara dari orang-orang yang bersuara sengau. Bahkan, ia juga menciptakan
komposisi musikal dari 200 anak pemulung sampah yang bernyanyi sambil memainkan
instrumen mungil dari bambu.
Jiwa bermusiknya yang gila bermula ketika Slamet berkuliah musik
di Paris. Dengan disokong beasiswa dari Kedubes Perancis di Jakarta dan
dilanjutkan Yayasan Albert Roussel (seorang komponis Perancis), selama 14 tahun
ia mendalami analisis dan komposisi musik.
Atas permintaan gurunya, Sumaryo L.E. dan Sukahardjana, Slamet
pulang ke Tanah Air dan mengabdi di IKJ. Kariernya mengajar teori musik dan
komposisi di IKJ berlanjut hingga dirinya menjabat sebagai dekan. Namun,
pemikirannya yang menentang arus terkait musik belum bisa diterima oleh
pemerintah Orde Baru sehingga membuat dirinya dipecat.
Selain IKJ, pada tahun 2000, Slamet mengajar di program
pascasarjana STSI Surakarta (kini ISI Surakarta). Ia juga sempat mengajar di
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Karya-karya
Slamet lebih banyak digemari di luar negeri dibanding di dalam negeri. Seperti “Ketut
Candu”, “String Quartet I”, “Silence”, “Point Cotre”, “Parentheses
I-II-III-IV-V-VI”, “Jakarta 450 Tahun”, dan “Daun Pulus”. Dari sekian
karyanya, hanya “Daun Pulus” yang tersohor di Indonesia.
2. Harry
Roesli
Harry
Roesli tak cuma dikenal sebagai musisi, ia juga seorang guru, seniman, dan
pendidik musisi Bandung yang kemudian berkembang menjadi seniman berkualitas.
Ia juga merupakan cucu seorang pujangga besar Indonesia, Marah Roesli yang
terkenal akan romansa Siti Nurbaya-nya.
Era 70-an menjadi tahun-tahun permulaan namanya melambung lewat
grup musiknya, The Gang of Harry
Roesli, bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A. Rachman. Melalui album
perdananya yang bertajuk “Philosophy Gang” (1971), tanpa basa
basi telah membuat geger dunia musik Indonesia.
Selain piawai dalam bergitar, Harry juga pintar mempermainkan
paduan gong, gamelan, drum, botol, kaleng bekas dan kliningan secara bersamaan
menjadi instrumen musik yang harmonis. Ditambah dengan lirik metafora yang
ciamik dan sarat akan kritik sosial secara lugas dan tepat.
Selepas dari ITB, Harry memilih untuk mendalami musik di
Institut Kesenian Jakarta dan lanjut menerima beasiswa ke Rotterdam
Conservatorium, Belanda.
Bertolak
dari kehidupan prestisius, ia gunakan musik untuk menyuarakan keadilan dan
mengkaderisasi para musisi jalanan Bandung. Setelah meraih gelar doktornya, ia
turut aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa universitas di Bandung,
seperti Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Pasundan Bandung.
3. Djaduk
Ferianto
Djaduk adalah seorang aktor dan seniman musik
Indonesia asal Yogyakarta. Seorang putra dari Bagong Kussudiardja, koreografer
dan pelukis senior Indonesia. Selepas dari pendidikan di Tamansiswa, ia
lanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Jurusan Seni Rupa meski
akhirnya tak selesai.
Bersama dengan sang kakak, Butet Kertaradjasa dan Purwanto,
mendirikan kelompok kesenian Kua Etnika, yang merupakan penggalian musik
etnik dengan pendekatan modern. Ia juga mengolah musik keroncong dengan
membentuk Orkes Sinten Remen.
Dalam perjalanannya berkarier di bidang seni, Djaduk sempat
mengalami diskriminasi sejak 1979 karena pembedaan label lokal dan nasional. Ia
baru bisa masuk industri nasional pada tahun 1996, di acara Dua Warna RCTI.
Maka ketika ia menerima banyak job tingkat nasional, ia tetap bertahan sebagai
orang lokal. Berkat kreativitasnya, Persatuan Wartawan Indonesia memberinya
penghargaan sebagai Pemusik Kreatif. Ia juga menyabet juara pertama Musik Humor
Tingkat Nasional dan beberapa penghargaan lain.
Pada
tahun 2007, Djaduk bersama Kua Etnika, Wartajazz.com, Paningron, dan seniman
lainnya menggelar pentas musik jazz bertajuk “Ngayogjazz” dan
berlangsung dengan sukses. Akhirnya, acara yang ditujukan untuk mendekatkan
musik jazz kepada masyarakat ini menjadi agenda tahunan di Yogyakarta.
4. I Nyoman Windha
Dengan berbagai adat, ritual, dan upacara yang tak lepas dari
berbagai kesenian setempat, bisa dikatakan bahwa masyarakat Bali pada dasarnya
adalah seniman semua. Di tengah-tengah komunitas seperti itulah, I Nyoman
Windha dilahirkan. Sebagaimana dengan masyarakat Bali pada umumnya, Nyoman
Windha telah akrab dengan suara gamelan, tembang yang energik, tarian yang
penuh gerak, dan keanekaragaman bunyi. Ia sudah piawai menabuh gamelan semenjak
masa kanak-kanak.
Bakat
musiknya semakin menjadi ketika Nyoman menghabiskan masa pendidikannya di
sekolah-sekolah seni. Ia mulai belajar di Konservatori Karawitan Denpasar pada
umur 17 tahun. Tahun 1976, ia teruskan studinya di jurusan karawitan Akademi
Seni Tari (ASTI) Denpasar. Pada 2005, ia tuntaskan studinya di Master of Music
di Mills College California.
Debutnya
sebagai komponis bermula pada Pekan Komponis-Dewan Kesenian Jakarta 1983. Pada 1998,
ia diundang untuk kedua kalinya ke forum bergengsi itu. Pada masanya, forum itu
dipandang sebagai gerbang karier para komponis muda kontemporer Indonesia.
Bahkan, Harry Roesli dan Djaduk Ferianto merupakan alumnus forum tersebut.
Dalam dunia permusikan Bali saat ini, Nyoman Windha
telah menempati posisi paling utama. Sebagai pemain, komponis, dan guru musik
di Bali, ia telah berkali-kali
bermain, mengajar, dan berkolaborasi dengan para seniman dari berbagai negara,
seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Australia.
Puluhan
karyanya telah direkam oleh berbagai label studio musik, di antaranya: Sangkep,
Palapa I dan Palapa II, Bali Age, Gita Nusantara, Gereching Kawulu, Gora Merdawa Cendra
Wasih, Gadung Kasturi, Jagad Anyar, Gita Winangun, Sinom Lawe, dan masih
banyak lagi.
Di
usia yang tak lagi muda, I Nyoman Windha masih aktif berkarya dan mengajar seni
karawitan dan komposisi di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
5. Aloysius
Suwardi
Al, begitu panggilan akrab Aloysius Suwardi, dikenal sebagai
musikus Indonesia asal Surakarta. Ia menggeluti bidang etnomusikologi, terutama
karawitan. Ia telah banyak menghasilkan karya musik-musik tradisi yang banyak
ditampilkan di dalam maupun luar negeri.
Aloysius Suwardi mengawali belajar seni karawitan Jawa dan Bali
di Konservatori Karawitan Surakarta. Selepasnya, ia lanjutkan studinya di
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Di ASKI inilah, ia bertemu
dengan banyak mentor, guru, dan seniman yang membentuk karakternya di kemudian
hari.
Pertemuannya
dengan seniman Sardono W. Kusumo pada 1974 yang mengajaknya bermain dalam
pertunjukan keliling seni kontemporer sampai ke Paris menjadi awal titik
pandang baru di bidang penciptaan karya-karya seni kontemporer yang bersumber
dari tradisi. Sejak itu, ia tak pernah absen mengikuti festival seni
kontemporer internasional di berbagai negara.
Dalam konteks musik kontemporer yang berasal dari tradisi
nusantara, Al dikenal lihai menjadi reparator dan modifikator alat-alat musik
gamelan lama dan baru. Ia menciptakan alat musik gambang dan gender makro dari
bahan-bahan keseharian seperti bambu, batu, air, metal, dan barang-barang bekas.
Sebagai
seniman dan pendidik, kini Aloysisus Suwardi mengajar untuk mata kuliah
komposisi, organologi, studio musik, dan etnomusikologi di Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta.
Royke
merupakan seorang musisi yang secara khusus mengeksplorasi musik-musik
kontemporer dengan media perkusi dan alat-alat musik akustik. Musik-musik Royke
jauh dari nuansa futuristik. Ia tampilkan komposisi dengan kendang, drum
akustik, seta petikan gitar dengan komposisi yang terkesan klasikal.
Dalam lagu-lagunya, Royke membuat komposisi klasik yang mungkin
terdengar ‘suram’. Namun sebenarnya, karya semacam ini memiliki kedalaman rasa
yang berbeda. Rasa yang coba digambarkan lebih menyerupai bentuk karya etnik.
Tentu saja, hal tersebut tak bisa dilepaskan dari kondisi budaya Indonesia yang
lekat dengan nuansa tradisional.
Menurut
Royke, musik itu sebenarnya tak ada yang jelek. Semua musik lahir dari
pengolahan gagasan atau ide, apabila dieksplorasi tidak akan habis, khususnya
untuk mendapatkan bentuk baru atau taste
yang lain.
Musik merupakan sesuatu yang universal, khususnya untuk
menyampaikan pesan dari pencipta musik kepada masyarakat. Yang penting,
bermusik haruslah kreatif, karena kreativitas adalah suatu awal yang tak akan
pernah terputus.
Lebih
jauh Royke ungkapkan, kehadiran musik kontemporer bukan untuk menyaingi musik
konvensional saat ini, tapi lebih ditujukan untuk balancing position. Untuk
itu, sudah selayaknya musik kontemporer diperkenalkan kepada masyarakat.
Royke
juga berharap, masyarakat segera belajar untuk memahami seni dan
batasan-batasannya yang memang terkesan abstrak. Karya-karya musik kontemporer
mungkin tak akrab di telinga-telinga awam, namun bukan tak mungkin dengan
kreativitas yang baik dapat menjadi karya yang menarik dan disukai masyarakat.
7. Paul Goetama
Paul
mengawali kariernya sebagai komponis musik kontemporer ketika dirinya masih berada
di Jerman untuk mendalami komposisi selama dua tahun. Sebelum pindah ke Jerman,
ia kuliah di jurusan instrumen biola di Konservatorium Amsterdam, Belanda. Ia
juga mendalami teori musik dan menjadikan kedua subyek tersebut sebagai bidang
utama.
Bersama
kelompok Banjar Gruppe bentukannya, Paul memainkan sejumlah komposisi berupa
musik avant-garde dan musik-musik baru
berlatar gamelan. Dalam mencari cara strukturisasi melodi dan lain-lainnya, ia
sampai mendalami musik tersebut selama 15 tahun setelah ‘kuyub’ dengan musik
Barat yang ia pelajari di sekolah formal.
Di
samping menciptakan karya-karya musik kontemporer Barat, Paul telah melahirkan
beberapa karya yang berangkat dari gamelan atau non-Barat. Dalam satu periode,
ia memberinya nama “Musik Leluhur Baru”.
Sesudah
itu, Paul lanjutkan pencapaiannya dengan membuat komposisi musik untuk pemusik
tunggal. Hal ini ia tunjukkan dengan karyanya yang berjudul “Gefuehlsstau”
atau “Timbunan Rasa” yang ia bawakan sendiri di malam pembukaan
pameran seni rupa G. Sidharta Soegijo, di Bentara Budaya Jakarta (2002).
8. Jomped
Secara
khusus, musik kontemporer Jomped menampakkan komposisi musik dari proses
kreatifnya dan proses pencariannya dalam mengeksplorasi media komputer. Musik
yang terkesan tak lazim ini, lebih mengarah pada bentukan musik elektronis
dengan dipadukan dengan efek cahaya yang menimbulkan nuansa futuristik.
Untuk menghidupkan musiknya, Jomped menambahkan beberapa
perangkat software yang secara khusus dibuat untuk menciptakan bunyi yang
sesuai dengan keinginannya. Misalnya, bunyi tembakan laser seperti dalam
film-film futuristis dan suara drum elektrik sebagai pengatur tempo atau ritme
yang diinginkan.
Menurut Jomped, musik kontemporer memang terkesan susah dicerna.
Tetapi sebenarnya di dalam musik ini terkandung sebuah nilai rasa bunyi yang
sedikit berbeda. Musik ini memang terkesan nyeleneh,
namun jika mau dirasakan, terdapat muatan rasa yang lain.
Itulah
beberapa tokoh musik kontemporer Indonesia. Nama-namanya mungkin masih asing di
telinga orang-orang awam, namun karya-karyanya telah dipentaskan di
panggung-panggung internasional. Menciptakan alternatif musik jenis baru yang
belum ada di masa sebelumnya.
by Imam Mahdi Sutomo, S.
Sn. , Modul Pembelajaran SMA
Comments
Post a Comment